Wednesday, January 11, 2017

Critical Eleven - Ika Natassa [2015]


Judul Buku : Critical Eleven
Penulis : Ika Natassa
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Desain Sampul : Ika Natassa
Editor : Rosi L. Simamora
Jumlah Halaman : 344 hlm
ISBN : 978-602-03-1892-9
Tahun Terbit : 10 Agustus 2015
Cetakan kesembilan : Januari 2016

Ika Natassa. Seorang banker yang memiliki hobi menulis dan fotografi. Critical Eleven adalah novel ketujuhnya. Novel-novel lainnya antara lain A Very Yuppy Wedding (2007), Divortiare (2008), Underground (2010), Antologi Rasa (2011), Twivortiare (2012) dan Twivortiare 2 (2014). Critical Eleven sendiri sudah mendapatkan penghargaan, yaitu Anugerah Pembaca Indonesia untuk Sampul Buku Fiksi Terfavorit dan Nominasi Buku dan Penulis Fiksi Terfavorit - Shortlist (2015).

Critical Eleven. Buku yang disarankan oleh temanku tahun lalu tapi baru ku beli tahun ini, bulan Agustus 2016 lalu lebih tepatnya. Karena aku baru sempat ke toko buku lagi ya bulan Agustus lalu itu. Sebelumnya, tahun lalu aku sudah mencari buku ini, namun stoknya lagi kosong. Dan ketika aku kembali ke toko buku bulan Agustus lalu, Critical Eleven sudah mejeng di deretan buku terlaris.


Sekilas dari sampul dan judul buku, apa yang Anda harapkan dari penulis? Pasti kebanyakan dari kita yang sudah membaca buku Critical Eleven mengalami rasa 'tertipu', yaa tidak sesuai prediksi, justru malah mendapat sesuatu yang luar biasa tidak terprediksi dalam arti positif.

Secara umum, buku Critical Eleven ini menceritakan tentang kehidupan Anya dan Ale, mulai mereka bertemu, pasca pernikahan hingga kehilangan calon anak mereka, Aidan. Disitulah konflik tercipta dan menjadi nyawa dalam novel ini.


Aldebaran Risjad (Ale) dan Tanya Laetitia Baskoro (Anya) pertama kali bertemu di pesawat dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Mereka berdua tidak menyangka pertemuan singkat itu menjadi cerita yang lebih panjang dalam kehidupan mereka. Tiga menit pertama, Anya terpikat. Tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa. Dan delapan menit sebelum berpisah, Ale yakin bahwa dia menginginkan Anya.

Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis dalam dunia pesawat, tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing, karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu.

Seperti itulah pertemuan mereka. 11 menit yang menentukan kehidupan selanjutnya. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk. Lalu ada delapan menit sebelum berpisah, yaitu delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.

Kini mereka menjadi pasangan suami-istri yang bahagia. Walau tinggal berjauhan dan hanya bisa bertemu lima minggu setelah lima minggu berpisah, mereka tetap menikmatinya. Namun sejak enam bulan yang lalu, semua tampak berbeda. Mereka terpaksa harus berpura-pura tetap menjadi pasangan bahagia di hadapan semua orang. Kehidupan rumah tangga mereka tak lagi sama.

Pulanglah aku dengan lelahnya. Tapi malam ini aku bersemangat untuk melanjutkan cerita Critical Eleven. Dan aku berhasil membaca sampai bab 16. Aku akui, buku ini benar-benar ah .. tidak bisa ku gambarkan dengan kata. Nangis dibuatnya, berkali-kali. Entah ceritanya yang memang bagus, atau akunya yang lagi ingin nangis, jadi sensitif. Aku baca buku ini sampai jam 2 pagi. Berkali-kali mengelap air mata yang jatuh dengan sendirinya. Ceritanya terasa begitu nyata, beneran deh.




Ika Natassa sungguh piawai membuat alur maju-mundur dengan mempertahankan rasa penasaran pada diri pembaca. Dia tidak langsung menjelaskan kepada pembaca penyebab konflik yang menjadi nyawa dalam novel ini. Justru Dia bermain dalam kata dan situasi. Dia berhasil membuat pembaca hanyut tenggelam dalam alur yang disajikannya.

Hal ini ditambah dengan gaya Ika Natassa yang sangat menonjol dalam penggunaan bahasa Inggris di novelnya. Secara pribadi, saya tidak masalah, justru senang karena dapat menambah kosakata alias pembelajaran. Namun kembali lagi, pembaca memiliki selera masing-masing. Ada yang suka, ada juga yang tidak suka. Penulis pun demikian, memiliki gaya menulisnya masing-masing.

Selain alur maju-mundur yang luar biasa rapi, sudut pandang yang digunakan Ika Natassa bagi saya brilian. Sudut pandang orang pertama dari kedua tokoh utama. Terlebih dua tokoh utama dalam novel ini berbeda jenis kelamin. Saya rasa sebagai penulis tidaklah mudah untuk menuliskannya. Dan bagi saya, Ika Natassa berhasil membuat pembaca lebih mudah memahami, membayangkan dan merasakan apa yang sedang terjadi di kedua tokoh utama itu. Dengan mudahnya pembaca dapat memahami karakter dan jiwa Ale sebagai laki-laki dan Anya sebagai perempuan.

Namun ada yang mengganjal di pikiran saya tentang cerita Anya dan Ale. Ale digambarkan oleh Ika Natassa sebagai sosok laki-laki yang taat beribadah, seperti mengerjakan shalat dan hal religius lainnya. Namun mengapa Ika Natassa menggambarkan Anya yang tampak kontra dengan kereligiusan Ale? Dengan menyebutkan bahwa Anya mengkonsumsi minuman beralkohol misalnya. Ini pendapat saya berdasar pada nilai-nilai yang saya yakini, mungkin bisa berbeda dengan pembaca lainnya.

Secara menyeluruh, tidak rugi bagi saya untuk menanti sekian lama agar mendapatkan buku ini. Buku ini saya sarankan terutama bagi Anda sekalian yang hendak menikah atau bahkan yang sudah menikah. Karena menikah itu seperti berlayar menaiki bahtera mengarungi samudra, banyak ombak dan karang yang menguji.


Setelah kenyang, saatnya meluruskan punggungku di atas tempat tidur. Tapi mata ini masih terjaga dan mulai melirik buku Critical Eleven. Kemarin aku sampai bab 16. Dan rasanya aku ingin segera menyelesaikan buku ini untuk tahu bagaimana penulis mengakhiri kisah di bukunya ini.


Ketawa, nangis, ketawa, takjub, nangis, nangis, nangis.


Serius buku ini berhasil bikin aku nangis bolak-balik. Mungkin ini didukung oleh perasaanku yang lagi sensitif *halah alasan.
Jam 2.00 pagi, aku pun berhasil menyelesaikan buku ini. 31 bab. Jujur aku masih ingin ada kelanjutan ceritanya. Seengganya sampai percakapan Tanya ngasih tau ke Ale soal dia yang hamil lagi. Hihi tapi menurutku emang lebih bagus yang sekarang sih. Hanya menggambarkan situasi saat itu dengan kata-kata sederhana. Sehingga pembaca diberi kebebasan berimajinasi bagaimana ekspresi Ale ketika tahu Tanya hamil lagi, setelah sekian lama mereka berjuang bertahan dalam situasi rumah tangga mereka yang tidak harmonis.


Aku pun masih melanjutkan membaca tulisan penulis tentang travelling. Dan ucapan terima kasih yang ingin disampaikannya pun juga aku baca. Dan aku terhenti pada suatu nama yang entah kenapa aku merasa mengenal sosok yang disebutkannya telah membantu dalam penulisan buku Critical Eleven.


dr. Dhini Budiono, SpOG. Yeah! Looks like my director. Walau nama direkturku bukanlah persis seperti apa yang dituliskan penulis. Namun panggilan direkturku adalah nama depan yang disebutkan penulis. Sedangkan nama belakang yang ditulis penulis adalah nama suami beliau.

----- UPDATE -----Benar saja! Sang Direktur mengamini apa yang aku lontarkan. Beliau menjelaskan bahwa beliau suka mengkritisi novel-novel yang sering menggunakan latar medis atau kedokteran yang hanya sebatas kulitnya saja. Dan kebetulisan penulis buku Critial Eleven ini adalah teman dari anak beliau. Beliau menjelaskan bahwa Ika Natassa bertanya perihal kandungan dan tentang 'Apakah keguguran harus menjalani operasi untuk mengeluarkan bayinya?' Yayaya, untuk mempertajam cerita penulis yang baik memang haruslah melakukan riset sungguhan.




Setelah selesai membaca novel ini, saya bergumam, "Tinggal nunggu kapan bakal dijadikan film sepertinya" Dan sekarang sudah terwujud. Kita akan nonton filmnya bersama di tahun 2017.

Namun ada yang mengkhawatirkan. Sudah banyak film yang diangkat dari sebuah novel, dan kebanyakan respon pembaca novel yang kemudian menonton filmnya adalah "Lebih bagus novelnya", "Kok agedan 'ini' tidak ada? Padahal mau nonton agedan itu"

Yayaya, memang tantangan bagi si pembuat film untuk menyajikan isi novel secara utuh ke dalam sebuah film yang terbatas akan durasi. Dan setiap pembaca masing-masing memiliki selera dan bagian cerita favoritnya. Tidak mungkin juga semua adegan dimasukan ke dalam film.

Harapan saya, saya akan berkata
'Ih bagus filmnya, representatif banget sama novelnya'.
Sederhana kan?

Bagian cerita yang saya harapkan adalah ..

Ketika mereka bertemu di pesawat. Ah ini sudah barang pasti harus ada di film, ketika Ale menjelaskan justru dia suka Jakarta dengan macetnya dan daya juang penduduknya.

Hubungan jarak jauh mereka, terlebih saat Anya menunjukan testpack melalui skype kepada Ale.

Obrolan Ale dengan Ayahnya ketika main catur

Drama ulang tahun Ale

Pertama kali Ale masuk kamar Aidan

Pertama kali Anya ke makam Aidan

dan masih banyak lagi, tapi tentunya, yang dinantikan adalah ..

Bagaimana akhir cerita ini disajikan?

Novel ini memberikan banyak inspirasi, pesan dan kesan yang dapat mengalir hingga ke lubuk hati dan pikiran. Jadi, sebelum nonton filmnya, yuk baca bukunya dulu.

#readthebookbeforethemovie

1 komentar :

Unknown said...

Gagal fokus dari tulisannya... #entah kenapa liat teman2 kuning di deket buku...

Post a Comment

 
;