Ibu, Mama, Umi, Bunda… Ada berbagai macam panggilan untuknya, dia yang telah melahirkan aku, kamu, dia, bahkan mereka yang mungkin juga tak kau kenal. Tapi dari sekian banyak panggilan itu, adakah yang merubahnya? Tidak. Sama saja. Kedudukannya masih spesial karena kemuliaannya mengandung selama 9 bulan dan tentu saja melahirkan. Tak salah juga pepatah yang sering kita dengar bahwa surga berada di telapak kaki ibu.
Kita tak bisa mengingat saat kita dalam kandungan, ataupun bagaimana beliau merawat kita saat bayi. Tapi apa yang beliau rasakan saat itu masih tergambar jelas pada raut wajahnya dan matanya yang hingga saat ini selalu mencoba menjaga kita. Tertawa saat kita tertawa, menangis saat kita bersedih, dan mencoba lebih tegas saat kita melakukan kesalahan. Tegas lho ya! Bukan marah. Istilah marah hanya muncul karena kita melihat ketegasannya dari sisi lain, ego kita. Bukan dari sisi beliau melakukannya.
Terkadang pandangan kita sebagai seorang anak jauh berbeda dengan orang tua kita, tak hanya ayah, ibu juga. Larangan berteman dengan si ini atau si itu, pulang larut malam, harus banyak makan sayur, hati-hati di jalan, atau masih banyak lagi. Rasanya ingin marah tapi juga sedih, dan yang bisa dilakukan hanya menangis lalu masuk ke kamar lagi. Bukankah kebanyakan dari kita seperti itu? Lalu pernahkah kita memikirkan alasan mengapa ayah atau ibu melarang kita melakukannya? Mudah sebenarnya, logis pula.
Beliau tak ingin kita terjerumus dalam pergaulan yang salah, tak semua teman kita akan menjadi teman sejati sampai tua nanti kan? Bukankah pertemanan itu sebenarnya hanya sebagian dari simbiosis mutualisme sebuah kepentingan? Banyak pula peristiwa buruk yang dialami dari persahabatan. Tak semua teman-teman kita juga mau menerima kekurangan kita. Tak juga sahabat. Beliau hanya ingin kita berhati-hati saja, karena tak ada satu orang pun yang dapat dipercaya 100%. Sebenci-bencinya orang tua terhadap anaknya, apakah mereka tak akan mau menerima anaknya kembali meski telah melakukan kesalahan fatal? Hati kecil mereka masih utuh untuk menerima kita, apalagi ibu yang sudah mengandung dan melahirkan kita.
Saat kita mulai beranjak dewasa, yang laki-laki bermalam mingguan dengan pacarnya atau yang perempuan didatangi lelakinya. Pernahkah kita berpikir bahwa orang tua kita mencemaskan kita? Apalagi jika pulang hingga larut malam? Bukan karena tak percaya pada pasangan, tapi lebih ingin menjaga. Karena nanti setelah kita menikah, tanggung jawab itu akan berpindah pada pasangan baru kita. Lihatlah saat kebanyakan orang menikah, mereka akan menangis karena mungkin ini jadi salah satu cara membahagiakan orang tua. Lalu ibu, menangis terharu karena anak yang telah beliau kandung, lahirkan, dan dirawat telah sedewasa itu hingga mampu mengemban tanggung jawab yang lebih berat lagi.
Pernahkah kita juga menyadari bahwa ibu juga ingin dimanja oleh anaknya? Bukan hanya soal balas budi, tapi lihatlah sedikit ke masa lalu. Saat kita sakit atau menangis sedih karena suatu permasalahan, ibu akan selalu menjadi yang pertama menanyakan keadaan kita. Bahkan ayah pun ikut mengkhawatirkan kita meski mungkin tak mau menunjukkan kekhawatirannya. Beliau juga ingin diperhatikan anak-anaknya yang mungkin karena mulai beranjak dewasa akan perlahan pergi menomorsatukan urusan mereka yang lain daripada orang tuanya. Lalu saat kita pergi jauh, beliau akan merasa kesepian. Tapi tak selalu menghubungi kita dan menanyakan keadaan kita kan? Itu bukan berarti tak peduli, tapi setidaknya beliau sudah mempercayai kita untuk menentukan jalan kita sendiri.
Banyak peristiwa yang tidak kita sadari sesungguhnya membawa kita pada keadaan yang lebih baik. Tapi ego dan kondisi lingkungan memang lebih banyak membuat kita menghabiskan waktu yang sia-sia. Jangan sia-siakan saat pikiran positif itu datang dan mengungkap segala kasih sayang orang tua kita! Jalani dan lakukan apa yang masih mampu kita lakukan sebelum ayah dan ibu kita pergi meninggalkan kita, karena kita takkan pernah tahu siapa yang akan pergi lebih dahulu.
0 komentar :
Post a Comment