Wednesday, March 30, 2016

Finger Print

Not too important maybe, but I'm still writing this just for remind me that I'm so happy having them. This is old story, but I'm still doing this job until now.

Finger Print. Kini menjadi alat yang sering ku utak-atik. Mendaftarkan user baru, menghapus, mengedit serta sinkronisasi data pegawai ke dalam database-ku.

Pernah suatu ketika ada pegawai baru. Sejujurnya tidak benar-benar baru. Karena beliau sudah pernah bekerja disini namun mengundurkan diri atas alasan tertentu. Apa itu? Entahlah aku tidak begitu ingin tahu. Yaa meski pernah ada seseorang bercerita kepadaku. Namun memori itu tidak lama bersemayam dalam otakku.

Ku perhatikan seksama database-ku. Ku temukan bahwa data finger print beliau masih ada. "Untung belum terhapus" seru bahagiaku.

Ku sampaikan pada beliau, "Tidak perlu ku daftarkan untuk finger print, karena data terdahulu belum terhapus" Senanglah hati ini, karena tugasku berkurang.

Namun keesokannya, "Mbak Miya, aku ngga bisa finger print. Aku lupa dulu jari yang mana yang dipakai" "Hmm .. sudah dicoba kesepuluh jari?" "Semuanya mbak?" Sambil mengangkat kedua tangannya ke depan wajahnya dan diperhatikan dengan seksama olehnya. "Yaa .." Senyum menggoda mengambang di bibirku, tapi aku serius.

Aku tidak punya jawaban lebih baik untuk menjawab pertanyaan jari mana yang didaftarkan kala itu, selain mencoba semua jari. "Ya sudah, yuk kita turun ke basement lewat tangga dari lantai 2" Karena di situlah mesin finger print berada, dekat tempat parkir kendaraan karyawan.

Sesampainya di depan mesin itu, aku meminta beliau mencoba menempelkan jari-jarinya satu per satu dimulai dari tangan kanan.
"Jempolnya, Mbak" Ucapku kepadanya sambil mataku melirik mesin finger print.
"Maaf, silahkan coba lagi" Respon mesin finger print dengan jelas.
"Oke, sekarang telunjuk"
"Maaf, silahkan coba lagi"
"Jari tengah"
"Maaf, silahkan coba lagi"
Kami mulai menahan ketawa.
"Jari manis"
"Maaf, silahkan coba lagi"
Kami mulai menghela napas.
"Kelingking"
"Terima kasih" Respon mesin finger print.

Kami spontan langsung teriak histeris. Bersyukur. Tertawa. Dan disitu ku putuskan untuk menambah "data jempol" beliau ke mesin finger print. Setelah selesai, lalu uji coba. Berhasil!.

***

Selang beberapa hari, ketika di mushalla yang letaknya dekat sekali dengan tempat beliau bekerja.
"Mbak Miya, aku ngga bisa finger print lagi, jempolku kapalan mbak"
Aku tertegun "Kapalan?"
Aku diam karena membayangkan bagaimana jempol kapalan dan sebegitunya ya bisa bikin mesin ngga bisa mendeteksi sidik jarinya.
"Ya sudah, nanti kita cek bersama lagi"

Tibalah waktunya, di depan mesin finger print lagi.
"Coba jempolnya lagi"
"Maaf, silahkan coba lagi"
Waduh, beneran ternyata. Daripada aku memikirkan betapa hebatnya kapalan mampu mengubah sedikit banyak sidik jari seseorang, ku ambil kuputusan "Ya sudah, kita daftarkan jari baru. Jari mana yang sekiranya jarang terluka? Telunjuk?"
"Jangan mbak, kemarin abis aku kelupasin"
"Jari tengah?"
"Jangan mbak, lihat nih bekas ngupasin bawang"
Dalam hati berbicara, aku juga ngupas bawang, tapi ngga sampe segitunya juga.
"Jari manis?"
"Hmm boleh mbak"

Maka proses pendaftaran "data jari manis" selesai. Uji coba, berhasil!.

Pengalaman di atas, membuat saya secara tidak langsung belajar akan sidik jari dan teknologi mesin finger print. Ya ngga paham-paham banget, tapi seengganya tahu hehehe. Dan sampai sekarang kalau ingat hal ini, pasti ketawa-ketiwi sendiri. Masih heran aja, soal jari kapalan yang bisa membuat mesin tidak bisa mendeteksi sidik jarinya. Bahkan dokter dan teman-teman karyawan juga ikut tertawa dan heran soal kejadian ini, karena saya menyampaikan hal ini di rapat koordinasi tiap bulan terkait masalah yang sempat terjadi. Hehehe v(^°^)v  peace Mbak Ari :D

0 komentar :

Post a Comment

 
;